Dunia di balik kamera selalu menawarkan imaji tentang kemasyhuran. Sineas kampus terlibat pertarungan antara obsesi ketenaran dan dorongan mengasah kreativitas. Seperti apa skenario masa depan sinema mahasiswa dan bagaimana ending-nya?
DUNIA di atas layar, entah layar kaca (televisi) maupun bioskop, selalu menjanjikan obsesi tentang selebritas. Karena itu, tak jarang dunia entertainment dijadikan jalan pintas untuk menggapai tangga ketenaran dan kekayaan.
Kota Semarang beberapa kali dijadikan setting film papan atas yang melibatkan pemain lokal. Di antaranya Gie, The Photograph, dan Kala. Ini menambah godaan komunitas sinema mahasiswa untuk mencebur ke dunia entertainment.
Arie Moenir, pegiat film yang juga anggota Komite Sinema Dewan Kesenian Semarang (Dekase), pun menanyakan niat mahasiswa yang tengah mengikuti workshop penulisan skenario film di IKIP PGRI, 5 Januari lalu. ''Apa alasan kamu datang ke sini,'' tanya dia.
Workshop yang diikuti sekitar 100 mahasiswa itu juga menampilkan Ketua Parfi Jateng, Henz Sidarja, sebagai penyaji. Para peserta dibagi menjadi 10 kelompok dan diwajibkan menyusun sebuah skenario film.
Asah Kreativitas
Memang penting menanyakan sebuah niat. Moenir berharap komunitas sinema kampus menjadi ajang untuk mengasah kreativitas, dan dijauhkan dari obsesi jangka pendek, seperti menjadi selebritas. Ada banyak mata rantai produksi film yang membuat dunia sinematografi memberi banyak tawaran peran.
Menjadi sutradara atau aktor paling diminati. Tapi ada alternatif lain jika tidak ingin menjadi sutradara beken seperti Riri Reza dan Hanung Bramantyo. Misalnya menjadi kameramen, penulis skenario dan scriptwriter, atau produser seperti Mira Lesmana. Atau bahkan ''sekadar'' penata rias, kostum, atau tata lampu. Semua ini butuh ilmu.
Moenir malah berharap, sinema mahasiswa mengesampingkan keaktoran. ''Keaktoran biarlah digarap mahasiswa teater. UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Sinematografi bisa fokus pada manajemen produksi,'' ujar asisten sutradara Komedi Tengah Malam yang tayang di Lativi itu. Dia membayangkan, UKM Sinematografi hanya membuat proyek film. Mulai dari urusan perencanaan produksi, pembuatan skenario, spesial efek, hingga manajemen pemasaran.
Tidak Akademis
Angle yang dipilih Moenir rupanya searah dengan jalan pikiran Ayu Fitria, ketua UKM Sinematografi Elka IKIP PGRI Semarang. Dia mengaku akan berbagi peran dengan Teater Gema yang lebih mapan dalam hal keaktoran.
''Kami ingin lebih fokus pada manajemen produksi. Dengan batasan itu pun, bidang garap masih luas. Setiap elemen butuh pengembangan secara spesifik. Kameramen ada ilmunya sendiri, skenario lain lagi. Juga editing dan spesial efek. Jadi sangat kompleks,'' ujarnya.
Dengan rendah hati, Ayu mengaku UKM Sinematografi IKIP PGRI masih seumur jagung. Unit ini baru berdiri setahun lalu. Baru tiga film yang diproduksinya, yang terbaru berjudul Pocong.
Meski besar dan lahir di kampus, sinema mahasiswa bukan anak kandung perguruan tinggi. Mereka lahir untuk mengisi ruang kosong yang diciptakan kemajuan teknologi. (Panji Satrio-32)
Dikutip dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0801/12/opi06.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar